Hanya Berorientasi Kepentingan Ekonomi
Berbagai upaya dilakukan oleh investor untuk menguasai tanah, bahkan laut Bali untuk dijadikan ajang berbisnis. Rencana reklamasi kawasan perairan Teluk Benoa dengan kedok pembuatan pulau penyangga tsunami pun oleh berbagai kalangan dinilai sebagai upaya penguasaan terhadap ekonomi dan lingkungan Bali secara terstruktur oleh investor yang telah berkongkalikong dengan penguasa.
Menurut Guru Besar Universitas Udayana Prof. I Gusti Made Sutjaya, reklamasi kawasan perairan Teluk Benoa hanya akan menimbulkan dampak negatif bagi Bali. Sebab, akan memicu perubahan sosial budaya yang luar biasa serta yang paling terasa adalah jurang kesenjangan kian tinggi. Investorlah yang akan berkuasa dan mengeruk keuntungan di kawasan hasil reklamasi itu, sedangkan masyarakat Bali hanya dapat ampasnya akibat adanya capital flight. ''Reklamasi ini akan memicu perubahan sosial budaya yang sangat besar. Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah Bali dapat apa. Karena Bali akan dikuasai investor dari luar Bali, sehingga masyarakat Bali hanya dapat ampasnya, lingkungan Bali kian rusak,'' katanya, Minggu (14/7) kemarin.
Guru Besar Fakultas Sastra Unud ini menolak tegas rencana reklamasi atau pengurukan itu. ''Kalau ada pengurukan kawasan perairan Teluk Benoa seluas 838 hektar harus benar-benar dipikirkan risiko dan implikasi bagi Bali secara keseluruhan. Pengurukan laut ini orientasinya hanyalah ekonomis, untung-rugi, bukan untuk penyelamatan lingkungan. Apakah masyarakat di sekitar sana siap menerima perubahan sosial budaya akibat pengurukan itu, atau malah mereka akan digusur digantikan masyarakat baru yang berorientasi pada profit,'' katanya mengingatkan.
Ia pun menyayangkan pemimpin Bali menunjukkan sikap dan wacana yang tidak konsisten atas rencana reklamasi itu. Pemimpin Bali tidak satya wacana. Malah ada kesan kongkalikong dengan investor. ''Dari semua wacana yang ada, tidak ada konsistensi dari pemimpin Bali. Tidak ada keajegan omongan. Mulanya mengaku tidak tahu ada rencana reklamasi, tetapi setelah SK izin reklamasi diungkap media, baru mengakui itu ada. Seorang pemimpin Bali mestinya harus satya wacana. Kata, hati, dan perbuatan harus sejalan. Tetapi dari ketidakjegan wacana pemimpin Bali, itu menunjukkan sudah tidak satya wacana,'' kritiknya lantas menambahkan, apa pun yang dilakukan pemimpin Bali harus demi kepentingan Bali, bukan investor.
Prof. Sutjaya menilai ada pola-pola kekuasaan yang bermain dalam rencana pengurukan Teluk Benoa itu. ''Power tend to corrupt (kekuasaan itu cenderung korup). Kekuasaan itu cenderung busuk. Apakah pemimpin kita sedang ke arah itu dan ada penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan?'' tanyanya.
Ia pun berharap pemimpin Bali berpikir jernih mengelola Bali dan mendengarkan aspirasi serta penolakan atas rencana reklamasi itu dari segenap komponen masyarakat. ''Di sini dituntut kebijakan seorang pemimpin. Tidak bisa hanya berpatokan pada kecerdasan untuk pembenaran sebuah kebijakan. Pemimpin Bali perlu berpikir matang atas rencana pengurukan itu,'' ujar akademisi yang juga concern dalam pelestarian bahasa dan budaya Bali itu.
Menurutnya, permasalahan reklamasi ini masih mengambang, tidak ada sikap jelas di pihak eksekutif maupun legislatif ketika berbagai kejanggalan dalam SK izin reklamasi yang dikeluarkan Gubernur Bali diungkap ke publik. Ia menegaskan, mestinya ada solusi atas permasalahan ini. Ketika rencana pengurukan ini ditolak segenap komponen masyarakat, ketika berbagai kejanggalan keluarnya SK itu diungkap, pemimpin Bali mesti bersikap dengan menunda atau menghentikan rencana reklamasi itu. ''Ini ada chaos atau kekacauan berpikir dari pihak eksekutif dan legislatif, sehingga tidak ada penyelesaian atas permasalahan ini. Eksekutif dan legislatif harus kilas balik melihat permasalahan ini dan menyerap semua aspirasi. Jangan memaksakan kehendak. Tetapi dalam permasalahan ini tampaknya kekuasaan menjadi panglima, sehingga di era demokrasi ini kita seperti kembali ke zaman Singosari di mana kekuasaan menjadi panglima,'' pungkas pria peraih penghargaan Anugerah Pers K. Nadha Nugraha tahun 2008 ini. dikutip dari Balipost 15 juli 2013.
Kini giliran anda berkomentar di bawah ini..........
Berbagai upaya dilakukan oleh investor untuk menguasai tanah, bahkan laut Bali untuk dijadikan ajang berbisnis. Rencana reklamasi kawasan perairan Teluk Benoa dengan kedok pembuatan pulau penyangga tsunami pun oleh berbagai kalangan dinilai sebagai upaya penguasaan terhadap ekonomi dan lingkungan Bali secara terstruktur oleh investor yang telah berkongkalikong dengan penguasa.
Menurut Guru Besar Universitas Udayana Prof. I Gusti Made Sutjaya, reklamasi kawasan perairan Teluk Benoa hanya akan menimbulkan dampak negatif bagi Bali. Sebab, akan memicu perubahan sosial budaya yang luar biasa serta yang paling terasa adalah jurang kesenjangan kian tinggi. Investorlah yang akan berkuasa dan mengeruk keuntungan di kawasan hasil reklamasi itu, sedangkan masyarakat Bali hanya dapat ampasnya akibat adanya capital flight. ''Reklamasi ini akan memicu perubahan sosial budaya yang sangat besar. Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah Bali dapat apa. Karena Bali akan dikuasai investor dari luar Bali, sehingga masyarakat Bali hanya dapat ampasnya, lingkungan Bali kian rusak,'' katanya, Minggu (14/7) kemarin.
Guru Besar Fakultas Sastra Unud ini menolak tegas rencana reklamasi atau pengurukan itu. ''Kalau ada pengurukan kawasan perairan Teluk Benoa seluas 838 hektar harus benar-benar dipikirkan risiko dan implikasi bagi Bali secara keseluruhan. Pengurukan laut ini orientasinya hanyalah ekonomis, untung-rugi, bukan untuk penyelamatan lingkungan. Apakah masyarakat di sekitar sana siap menerima perubahan sosial budaya akibat pengurukan itu, atau malah mereka akan digusur digantikan masyarakat baru yang berorientasi pada profit,'' katanya mengingatkan.
Ia pun menyayangkan pemimpin Bali menunjukkan sikap dan wacana yang tidak konsisten atas rencana reklamasi itu. Pemimpin Bali tidak satya wacana. Malah ada kesan kongkalikong dengan investor. ''Dari semua wacana yang ada, tidak ada konsistensi dari pemimpin Bali. Tidak ada keajegan omongan. Mulanya mengaku tidak tahu ada rencana reklamasi, tetapi setelah SK izin reklamasi diungkap media, baru mengakui itu ada. Seorang pemimpin Bali mestinya harus satya wacana. Kata, hati, dan perbuatan harus sejalan. Tetapi dari ketidakjegan wacana pemimpin Bali, itu menunjukkan sudah tidak satya wacana,'' kritiknya lantas menambahkan, apa pun yang dilakukan pemimpin Bali harus demi kepentingan Bali, bukan investor.
Prof. Sutjaya menilai ada pola-pola kekuasaan yang bermain dalam rencana pengurukan Teluk Benoa itu. ''Power tend to corrupt (kekuasaan itu cenderung korup). Kekuasaan itu cenderung busuk. Apakah pemimpin kita sedang ke arah itu dan ada penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan?'' tanyanya.
Ia pun berharap pemimpin Bali berpikir jernih mengelola Bali dan mendengarkan aspirasi serta penolakan atas rencana reklamasi itu dari segenap komponen masyarakat. ''Di sini dituntut kebijakan seorang pemimpin. Tidak bisa hanya berpatokan pada kecerdasan untuk pembenaran sebuah kebijakan. Pemimpin Bali perlu berpikir matang atas rencana pengurukan itu,'' ujar akademisi yang juga concern dalam pelestarian bahasa dan budaya Bali itu.
Menurutnya, permasalahan reklamasi ini masih mengambang, tidak ada sikap jelas di pihak eksekutif maupun legislatif ketika berbagai kejanggalan dalam SK izin reklamasi yang dikeluarkan Gubernur Bali diungkap ke publik. Ia menegaskan, mestinya ada solusi atas permasalahan ini. Ketika rencana pengurukan ini ditolak segenap komponen masyarakat, ketika berbagai kejanggalan keluarnya SK itu diungkap, pemimpin Bali mesti bersikap dengan menunda atau menghentikan rencana reklamasi itu. ''Ini ada chaos atau kekacauan berpikir dari pihak eksekutif dan legislatif, sehingga tidak ada penyelesaian atas permasalahan ini. Eksekutif dan legislatif harus kilas balik melihat permasalahan ini dan menyerap semua aspirasi. Jangan memaksakan kehendak. Tetapi dalam permasalahan ini tampaknya kekuasaan menjadi panglima, sehingga di era demokrasi ini kita seperti kembali ke zaman Singosari di mana kekuasaan menjadi panglima,'' pungkas pria peraih penghargaan Anugerah Pers K. Nadha Nugraha tahun 2008 ini. dikutip dari Balipost 15 juli 2013.
Kini giliran anda berkomentar di bawah ini..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar