Reklamasi Teluk Benoa, Konyol. Upaya. memuluskan reklamasi Teluk Benoa sebagai destinasi wisata baru di Bali merupakan langkah konyol yang diambil pemerintah daerah. Sebab, pengembangan destinasi baru yang bersifat artifisial tidak akan memiliki daya saing dan justru merupakan langkah bunuh diri, karena masyarakat Bali hanya akan menjadi penonton dari pembangunan pariwisata tersebut.
Hal itu terungkap dalam diskusi terbatas dengan tema ''Kesenjangan Sosial Masyarakat di Tengah Kebutnya Pembangunan di Bali''. Diskusi yang digelar Selasa (16/7) kemarin, menghadirkan para akademisi seperti Guru Besar Unud Prof. Dr. Wayan Ramantha, S.E., Ak., M.M., Dekan Fakultas Ekonomi Undiknas University Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M., Ketua Program Studi (S-1) Destinasi Pariwisata Fakultas Pariwisata Unud I Gusti Agung Oka Mahagangga, S.Sos., M.Si.
Guru Besar Unud Prof. Dr. Wayan Ramantha, S.E., Ak., M.M. mengatakan, Bali sebagai destinasi pariwisata dunia harus memiliki keunggulan komparatif, bukan pariwisata yang bersifat artifisial. Untuk itu, pulau yang dikenal surganya wisatawan ini harus mempertahankan pariwisata budaya yang selama ini menjadi ikon pariwisata Bali.
''Bunuh diri jika kita meninggalkan pariwisata budaya, konyol kalau kita meninggalkan pariwisata budaya. Kenapa pariwisata budaya kita pertahankan? Karena itu merupakan keunggulan komparatif kita, sementara jika berpikir pariwisata yang lain (destinasi baru di Teluk Benoa - red) merupakan keunggulan komparatif negara lain, kita tidak akan mungkin bisa mengejar,'' ungkapnya.
Menurutnya, setiap negara memiliki keunggulan tersendiri dalam mengembangkan pariwisata di negaranya. Seperti Singapura yang dikenal dunia sebagai wisata belanja, Thailand dikenal dunia dengan pariwisata malam. Masing-masing negara ini menjual potensi mereka yang dinilai memiliki daya saing yang kuat, sehingga mampu bersaing di dunia pariwisata.
''Misalnya Singapura ingin pariwisata budaya pasti tidak bisa, begitu juga sebaliknya Bali ingin pariwisata belanja sudah ketinggalan 30 tahun. Jadi kita yakin gagal sebab dari sisi komparatif sudah gagal, ngapain kita merencanakan yang gagal. Apalagi oleh semua pihak sudah dikatakan tidak visibel dari sisi hukum, sosial budaya, dan lingkungan,'' tegasnya.
Ramantha juga mengatakan, pembangunan Bali hanya di atas kertas. Padahal, jika dilihat dari visi-misi pembangunan Bali yang di dalamnya tertuang memihak pada pertumbuhan (pro growth), menciptakan lapangan kerja (pro job), pengentasan kemiskinan (pro poor), dan memihak pada pelestarian lingkungan (pro environment) sangat luar biasa.
Memihak pada pertumbuhan memang benar, namun pertumbuhan yang rata-rata 6 persen yang bisa kita capai saat ini belum bisa dibanggakan. Pemeritah belum melakukan investasi jangka panjang dalam bentuk pemberdayaan masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan. ''Seperti bagaimana kita mengatasi akar permasalahan kemiskinan. Akar kemiskinan itu bukan mereka yang tidak punya rumah, sehingga menjadi miskin, tetapi mereka tidak punya semangat kerja, tidak punya lapangan pekerjaan makanya mereka miskin,'' jelasnya.
Untuk itu, katanya, yang mendesak dilakukan pemangku kepentingan adalah pemberdayaan masyarakat, yakni dari sisi ekonomi jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) harus ditinggkatkan. Kendati mereka tidak bisa menjadi pengusaha, mereka bisa memiliki keterampilan bidang pekerjaan.
''Apa yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan Balai Latihan Kerja (BLK). Contoh, tingkatkan anggaran untuk melakukan pelatihan formal dan nonformal kepada angkatan kerja Bali, tidak hanya yang melamar saja, tetapi seluruh angkatan kerja 17 tahun ke atas, sehingga produktivitasnya bisa ditingkatkan,'' ucapnya.
Senada dikatakan Dekan Fakultas Ekonomi Undiknas University, Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M. Reklamasi Teluk Benoa merupakan kesalahan yang sangat mendasar. Pemerintah mesti bercermin pada reklamasi Pulau Serangan yang hingga sekarang belum jelas. Bahkan telah merusak lingkungan, sosial masyarakat dan budaya setempat.
Menurutnya, secara ekonomi, pesatnya pembangunan di Bali Selatan akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Bali. Namun pertumbuhan yang terjadi melenceng dari harapan, yakni kesenjangan makin besar. ''Pertumbuhan sekarang ini semu, karena tidak terjadi pemerataan. Yang terserap di sana itu (Bali Selatan - red) bukan kompetensinya orang Bali,'' katanya.
Selain menimbulkan kemacetan dan dampak sosial lainnya, pesatnya pembangunan pariwisata di Bali Selatan, terutama Kabupaten Badung, juga akan menimbulkan kebocoran ekonomi. Sebab, ketika sebuah investasi didanai oleh asing atau perusahaan jejaring, maka barang-barang yang dibutuhkan akan dipasok dari luar, sehingga uang yang dihasilkan tidak beredar di Bali, melainkan menguap kembali ke negara asal investasi.
Ketua Program Studi (S-1) Destinasi Pariwisata Fakultas Pariwisata Unud I Gusti Agung Oka Mahagangga, S.Sos., M.Si. juga sependapat agar pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat Bali berpegang teguh pada pariwisata budaya. ''Bali itu kecil, harus diatur agar bisa mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan secara konseptual. Kita punya pariwisata budaya, ini harus kita pegang teguh,'' katanya.
Dia menilai pengembangan pariwisata Bali saat ini lebih kepada pariwisata komplit, yakni pariwisata dibuat untuk memenuhi permintaan pasar. Padahal, Bali telah memiliki konsep pariwisata budaya yang luar biasa. Kebijakan tersebut telah diperkuat dengan munculnya Perda 1991 dan Pergub tentang Pariwisata Budaya.
''Kalau kita mau jujur apakah kita masih mengutamakan pariwisata budaya? saya curiga kita mengarah kepada pariwisata komplit, karena berusaha memenuhi kebutuhan pasar. Namun kita lupa Bali ini lahir karena keunikan, ciri khas Bali,'' ucapnya. Demikian dikutip dari Balipost 17 juli 2013.
Nah Kini Giliran anda berkomentar.....
Hal itu terungkap dalam diskusi terbatas dengan tema ''Kesenjangan Sosial Masyarakat di Tengah Kebutnya Pembangunan di Bali''. Diskusi yang digelar Selasa (16/7) kemarin, menghadirkan para akademisi seperti Guru Besar Unud Prof. Dr. Wayan Ramantha, S.E., Ak., M.M., Dekan Fakultas Ekonomi Undiknas University Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M., Ketua Program Studi (S-1) Destinasi Pariwisata Fakultas Pariwisata Unud I Gusti Agung Oka Mahagangga, S.Sos., M.Si.
Guru Besar Unud Prof. Dr. Wayan Ramantha, S.E., Ak., M.M. mengatakan, Bali sebagai destinasi pariwisata dunia harus memiliki keunggulan komparatif, bukan pariwisata yang bersifat artifisial. Untuk itu, pulau yang dikenal surganya wisatawan ini harus mempertahankan pariwisata budaya yang selama ini menjadi ikon pariwisata Bali.
''Bunuh diri jika kita meninggalkan pariwisata budaya, konyol kalau kita meninggalkan pariwisata budaya. Kenapa pariwisata budaya kita pertahankan? Karena itu merupakan keunggulan komparatif kita, sementara jika berpikir pariwisata yang lain (destinasi baru di Teluk Benoa - red) merupakan keunggulan komparatif negara lain, kita tidak akan mungkin bisa mengejar,'' ungkapnya.
Menurutnya, setiap negara memiliki keunggulan tersendiri dalam mengembangkan pariwisata di negaranya. Seperti Singapura yang dikenal dunia sebagai wisata belanja, Thailand dikenal dunia dengan pariwisata malam. Masing-masing negara ini menjual potensi mereka yang dinilai memiliki daya saing yang kuat, sehingga mampu bersaing di dunia pariwisata.
''Misalnya Singapura ingin pariwisata budaya pasti tidak bisa, begitu juga sebaliknya Bali ingin pariwisata belanja sudah ketinggalan 30 tahun. Jadi kita yakin gagal sebab dari sisi komparatif sudah gagal, ngapain kita merencanakan yang gagal. Apalagi oleh semua pihak sudah dikatakan tidak visibel dari sisi hukum, sosial budaya, dan lingkungan,'' tegasnya.
Ramantha juga mengatakan, pembangunan Bali hanya di atas kertas. Padahal, jika dilihat dari visi-misi pembangunan Bali yang di dalamnya tertuang memihak pada pertumbuhan (pro growth), menciptakan lapangan kerja (pro job), pengentasan kemiskinan (pro poor), dan memihak pada pelestarian lingkungan (pro environment) sangat luar biasa.
Memihak pada pertumbuhan memang benar, namun pertumbuhan yang rata-rata 6 persen yang bisa kita capai saat ini belum bisa dibanggakan. Pemeritah belum melakukan investasi jangka panjang dalam bentuk pemberdayaan masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan. ''Seperti bagaimana kita mengatasi akar permasalahan kemiskinan. Akar kemiskinan itu bukan mereka yang tidak punya rumah, sehingga menjadi miskin, tetapi mereka tidak punya semangat kerja, tidak punya lapangan pekerjaan makanya mereka miskin,'' jelasnya.
Untuk itu, katanya, yang mendesak dilakukan pemangku kepentingan adalah pemberdayaan masyarakat, yakni dari sisi ekonomi jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) harus ditinggkatkan. Kendati mereka tidak bisa menjadi pengusaha, mereka bisa memiliki keterampilan bidang pekerjaan.
''Apa yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan Balai Latihan Kerja (BLK). Contoh, tingkatkan anggaran untuk melakukan pelatihan formal dan nonformal kepada angkatan kerja Bali, tidak hanya yang melamar saja, tetapi seluruh angkatan kerja 17 tahun ke atas, sehingga produktivitasnya bisa ditingkatkan,'' ucapnya.
Senada dikatakan Dekan Fakultas Ekonomi Undiknas University, Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M. Reklamasi Teluk Benoa merupakan kesalahan yang sangat mendasar. Pemerintah mesti bercermin pada reklamasi Pulau Serangan yang hingga sekarang belum jelas. Bahkan telah merusak lingkungan, sosial masyarakat dan budaya setempat.
Menurutnya, secara ekonomi, pesatnya pembangunan di Bali Selatan akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Bali. Namun pertumbuhan yang terjadi melenceng dari harapan, yakni kesenjangan makin besar. ''Pertumbuhan sekarang ini semu, karena tidak terjadi pemerataan. Yang terserap di sana itu (Bali Selatan - red) bukan kompetensinya orang Bali,'' katanya.
Selain menimbulkan kemacetan dan dampak sosial lainnya, pesatnya pembangunan pariwisata di Bali Selatan, terutama Kabupaten Badung, juga akan menimbulkan kebocoran ekonomi. Sebab, ketika sebuah investasi didanai oleh asing atau perusahaan jejaring, maka barang-barang yang dibutuhkan akan dipasok dari luar, sehingga uang yang dihasilkan tidak beredar di Bali, melainkan menguap kembali ke negara asal investasi.
Ketua Program Studi (S-1) Destinasi Pariwisata Fakultas Pariwisata Unud I Gusti Agung Oka Mahagangga, S.Sos., M.Si. juga sependapat agar pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat Bali berpegang teguh pada pariwisata budaya. ''Bali itu kecil, harus diatur agar bisa mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan secara konseptual. Kita punya pariwisata budaya, ini harus kita pegang teguh,'' katanya.
Dia menilai pengembangan pariwisata Bali saat ini lebih kepada pariwisata komplit, yakni pariwisata dibuat untuk memenuhi permintaan pasar. Padahal, Bali telah memiliki konsep pariwisata budaya yang luar biasa. Kebijakan tersebut telah diperkuat dengan munculnya Perda 1991 dan Pergub tentang Pariwisata Budaya.
''Kalau kita mau jujur apakah kita masih mengutamakan pariwisata budaya? saya curiga kita mengarah kepada pariwisata komplit, karena berusaha memenuhi kebutuhan pasar. Namun kita lupa Bali ini lahir karena keunikan, ciri khas Bali,'' ucapnya. Demikian dikutip dari Balipost 17 juli 2013.
Nah Kini Giliran anda berkomentar.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar